Nilai-Nilai Tafakur Dalam Pengalaman Batin Penyair

BERBAGI

EDITOR : Wiranda Yudhis Arjuna

Membaca puisi profetik bertajuk Mawar Merah di Tapak Tauhid karya Sri Rahmi, seolah diajak berkelana ke ruang-ruang kreativitas keyakinannya.

Buku terbitan Mas Media Pustaka 2018 ini merupakan corak puisi (esai) betutur tentang pengalaman batin selama penulis (penyair) berada di Tanah Suci.

Sebagai corak puisi esai, Sri Rahmi tampaknya tidak menuturkan ide masalah terlalu panjang hingga 2500-3000 kata seperti yang ditulis Deni Januar Ali dan kawan-kawan.

Meski demikian, corak pengalaman batinnya ditulis Sri Rahmi dengan keyakinan atas Tuhannya yang telah membimbingnya hingga ke tanah suci itu.

Begitu mengalirnya uraian Rahmi saat menuturkan tiap wilayah yang dikunjunginya. Uraian emosi serta kata kata batinnya yang bernilai profetik, mengurai sejarah masa lalu tentang unsur kenabian (Musa). Meski secara lliterik, Musa tak dapat mengutarakan (terbata-batap) keesahan Ilahi, namun dari sikap dirinya yang tegas, serta bantuan penguraian bahasa dari sepupunya Harun, Musa tampil sebagai Nabi besar dalam kesejarahan Islam (Alquran).

Ekrspresi itu dapat dibaca dari puisi bertajuk “Surat dari Taurat”. Dari tangga awal uraian puisi tersebut sudah ditulis secara kental tentang sikap religiustasnya tentang perjuangan Musa menyampaikan nilai-nilai Ilahiyah, Allah SWT.

Seperti diungkap penyair Polandia, Juljan Tuwim, puisi-puisi yang mengungkap tentang ke-Tuhan-an, merupakan cermin jiwa penyairnya. Sebab dari pengalaman dan pemlbelajaran selama ia memeluk keyakinan atas tergambar dari untaian larik larik puisinya (Puisi Dunia diterbitkan Dinas Penerbitan Balai Pustaka — BP Nomor 388 1960).

Bahkan dari puisi lanjutan yang ditulisnya, penyair banyak mengungkap tentang sikap perjuangan keagamaan dalam tataran sejarah, yang mengisahkan kaitan kekuasaan Allah SWT. Peristiwa masa lalu itu tak hanya dikisahkan secara tertulis lewat sejarah, tapi nilai pandang masa lalu itu dapat dilukiskan secara profetis oleh Sri Rahmi.

Tak ubahnya Tuwim Juljan (1894) yang menulis tentang puisi Doa, ia menuturkan nilai kepasrahan diri sembari bangkit dengan semangat juangnya ketika melawan penjajahan Nazi Jerman, dengan kekuatas estetika perlawanan.

Meski perlawanan Tuwim Juljan bersikap psikologis kemanusiaan, namun etimologisnya terkait kekuatan tuhannya.

Sedangkan kekuatan Sri Rahmi mengungkap masalah yang ditulisnya, berkaitan dengan unsur keyakinan (Islam) dalam rasa yang kental (feeling).

Sebab puisi-puisinya diurai berdasar pengalamannya di Mesir yang dikuatkan dengar sejumlah firman di dalam Alquran.

Dalam puisinya berjudul Attaubah 126 (halaman 47), ia urai tentang kebohongan dan kemunafikan. Sebenarnya penyair tidak menjabarkan isinya untuk orang lain. Tapi puisi ini semata-mata ditujukan untuk dirinya sendiri. Karena sesuai figur dan latar belakang tempat yang pernah dikunjunginya, seolah menyadarkan dirinya sendiri dari sikap buruk di luar dirinya yang begitu konkret (the concrete word).

At-Taubah 126

Allah berkabar tentang bahala.
Yang datang sekali atau 2 kali dalam sewarsa.
Peringatan bagi yang melecehkan Rabbnya.
Yang lisannya berkawan kebohongan.
Yang tangannya zhalim.
Yang senang ingkar pada janjinya.
Yang khianat pada sumpahnya.
Belumkah berseri hatimu?
Mengantarmu pada sujud panjang.
Dari waktu ke waktumu yang sudah lalai….dan seterusnya.

Jika diucap dan dibaca, puisi ini lebih banyak berbicara tentang akhlak. Apalagi dalam tiap persoalan hidup, yang kita hadapi adalah lebih cenderung menjauhkan diri dari sikap hidup berke-Tuhan-an.

Menurut IA Richard, pengalalaman yang dihadapi itu akan terekam dan berakumulasi dengan keyakinan seseorang. Moralitas inilah yang menguatkan ide-ide penyair untuk menulis karyanya sesuai pengalaman dan keyakinan mendalam atas getaran di dadanya.

Meski kadang-kadang tema yang tampak dalam karya itu terlihat hanya tersamar, namun tak satu puisi pun yang tidak mengandung arti.

Ternyata puisi esai tidak harus ditulis berpanjang-panjang seperti yang dicontohkan para pendahulu. Dengan kalimat tak ubahnya dengan puisi konvensional, hasil dan isinya luar biasa.

Dari tiap judul puisi ini ada sisipan fakta kejadian yang dibungkus dengan keyakinan Islamisme. Karena antara feeling dan kreativitas penyairnya memang berlatar belakang Islam.

Terkait sejumpah puisi yang terhimpun di dalamnya, seperti Penuh Cinta, Rumah Sultanah Asiyah, Usai Sudah, Papirus dan lainnya, dibuat satu rangkaian panjang. Meski dari tiap rangkai terdapat judul baru, namum dalam satu kesatuan, puisi esai ini tetap berbicara moral.

Figur pengalaman yang diucap dalam tulisan (figuratif language) tetap mengacu sebagai uraian benang merah ke peradaban hidup (untuk kebaikan).

Karena itu intensitas sejumlah karya yang ada ialah mengarah ke pada kepasrahan diri dan tujuan kebaikan (intention).

Lalu siapa yang mengatakan puisi profetik tidak berbicara tentang cinta? Cinta adalah satu porsi rasa yang hakiki. Kesejatiannya milik manusia manusia. Entah cinta ke pada kekasih, atau alur cinta yang teramat indah bagi Tuhannya.

Menurut Toeti Heraty, cinta merupakan rasa yang berkaitan dengan emosi. Dalam puisi, cinta itu selalu berbentuk simetris yang menuntut harus dilimpahkan.

Namun cinta ke pada manusia pada waktu tertentu akan pudar.
[15:05, 3/31/2019] +62 852-7312-2106: Namun cinta kepada Tuhan, nilainya sangat panjang dan berbentuk welas asih. Karena itu kumpulan puisi esai Sri Rahmi ini cenderung mengajarkam kita pada nilai nilai reliji yang menghiasi keimanan kita.

Karena itu alangkah indahnya jika membaca karya Sri Rahmi dengan membuka hati paling dalam untuk menghindarkan diri kita dari sikap zhalim, bohong, merasa hebat sendiri agar kita bisa bermasyarakat tanpa mengecilkan diri orang lain.

Palembang, 29 Maret 2019

(Karya : Anto Narasoma)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here